Wibowo Sebut Penurunan Lahan Pantura Jateng Lebih Parah Dari Jakarta

sumber foto: Wetland International Indonesia

Kabupaten Demak – Anggota Komisi B DPRD Provinsi Jawa Tengah, Setia Budi Wibowo menyebut bahwa penurunan muka tanah atau land subsidence di kawasan Pantura Jawa Tengah seperti Kabupaten Demak, Kota Semarang, hingga Pekalongan lebih parah kondisinya dibanding Jakarta.

Hal tersebut dikarenakan Pantura Jateng mengalami penurunan muka tanah hingga 20 sentimeter setiap tahunnya. Dua kali lipat jika dibandingkan dengan Kota Jakarta yang hanya mencapai 10 sentimeter setiap tahunnya.

Wibowo menjelaskan bahwa kondisi tersebut menjadi penyebab banjir parah yang sering terjadi di awal tahun 2024 ini.

“Data tersebut kemudian menjadi alarm warning untuk Pemerintah Pusat dan Provinsi agar bahu membahu memperbaiki Pantura.karena memang angkanya (penurunannya) tinggi sekali. Artinya resikonya terjadinya bencana-bencana serupa (banjir Maret 2024) juga tinggi” jelas Wibowo.

Penurunan muka tanah tak hanya menyebabkan rob dan meluasnya cakupan banjir. Lebih dari itu, penurunan tersebut juga memicu kerusakan struktur bangunan hingga berpotensi menenggelamkan suatu wilayah.

Kepala Laboratorium Geodesi Institut Teknologi Bandung Heri Andreas menyampaikan bahwa penurunan muka tanah dipicu oleh pembebanan urugan pada struktur bangunan serta eksploitasi air tanah.

Menanggapi hal tersebut, Wibowo menyadari bahwa pembuatan tanggul merupakan solusi sementara. Solusi jangka panjang yang perlu diupayakan adalah dengan adaptasi dan strategis konstruksi maupun non-konstruksi, yang semuanya diarahkan kepada terwujudnya pemanfaatan lahan yang harmonis.

“Kalau dikaji dari penyebab turunnya muka tanah, maka jelas tanggul hanyalah solusi jangka pendek. Oleh karena itu penyelesaian masalah ini perlu sinergis antara jangka pendek dan jangka panjangnya” tegas Wibowo.

Sebenarnya, Pemerintah sudah melakukan tindakan penanggulangan dan preventif melalui PP 13 Tahun 2017 terkait kebijakan untuk Zero Delta Q. Peraturan terebut mewajibkan bagi setiap pelaku aktivitas pembangunan agar tidak mengakibatkan bertambahnya debit air yang akan masuk ke dalam sistem saluran drainase atau sistem aliran sungai. Zero Delta Q sendiri bisa diwujudkan melalui pembangunan sumur resapan, biopori, hingga penampungan air di kawasan perumahan.

Kendati demikian, Wibowo menegaskan kembali bahwa permasalahan penurunan lahan ini tidak bisa hanya sekedar berfokus pada satu solusi, baik sementara ataupun jangka panjang. Wibowo menilai perlu adanya sinergi antara solusi jangka pendek, menengah, dan jangka panjang. Wibowo berharap, Pemerintah mampu menafsirkan “alarm waspada” berupa data penurunan muka tanah menjadi kebijakan-kebijakan solutif yang mampu menanggulangi masalah saat ini dan menutup potensi bencana di masa yang akan datang.

“Kami berharap Pemerintah mampu menfasirkan alarm waspada berupa data pennurunan muka tanah ini menjadi kebijakan-kebijakan solutif” pungkasnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *